Rabu, 07 Juli 2010

Konservasi Dalam Kearifan Lokal Ikan Larang

KONSERVASI IKAN DALAM KEARIFAN LOKAL

IKAN LARANGAN DI SUMATERA BARAT



I. PENDAHULUAN


Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi yang ada di bahagian barat wilayah Indonesia dengan luas wilayah 4.224.730 ha atau sekitar 1,54 % dari wilayah Indonesia. Sumatera Barat mempunyai luas perairan umum 64.200 ha, yang terdiri dari sekitar 254 buah sungai yang sebahagian besar bermuara ke pantai barat Sumatera (Samudera Hindia) dan 5 buah danau besar yaitu Danau Singkarak (13.011 km2) di Kabupaten Tanah Datar dan Solok, Danau Diatas (3.150 km2), Danau Dibawah (1.400 km2) dan Danau Talang (1,02 km2) di kabupaten Solok, serta Danau Maninjau (9.950 km2) di kabupaten Agam.

Periran umum tersebut memiliki potensi yang cukup besar baik dibidang penangkapan maupun di bidang budidaya. Namun beberapa tahun belakangan ini potensi perikanan tangkap di perairan umum sangat jauh sekali berkurang. Hal ini disebabkan karena telah berkurangnya jumlah populasi ikan yang ada dalam perairan tersebut akibat dari ulah tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Ada beberapa faktor yang menyebabkan menurunnya populasi ikan alamiah di periaran umum diantaranya adalah :

  1. Pembukaan atau pengundulan hutan untuk perkebunan dan aktivitas / kebutuhan manusia lainnya, yang berakibat pada perubahan konsisi fisika, kimia dan biologi perairan.
  2. Penangkapan yang tidak terkendali oleh masyarakat, misalnya dengan menggunakan listrik (sentrum) dan bahan kimia (futas).
  3. Penambangan bahan galian seperti pasir dan krikil serta batu, juga akan merusak habitat ikan dan meningkatnya kekeruhan perairan dan bahkan tercemarnya perairan dengan bahan-bahan kimia yang berbahaya seperti Hg (Air Raksa) dari penambangan emas.
  4. Pembuatan bendungan untuk irigasi pertanian, juga dapat menyebabkan punahnya species ikan-ikan tertentu. Hal ini dikarenakan dengan adanya bendungan tersebut ikan-ikan yang biasanya bermigrasi kehulu sungai untuk memijah tidak bisa bermigrasi lagi atau sebaliknya, misalnya ikan Patin (Pangsius sp), Garing (Tor sp), Kulari (Tylognathus sp) dan Mingkih (Cestraceus sp).
  5. Pembuangan limbah oleh pabrik-pabrik yang ada di sekitar Daerah Aliran Sungai ke dalam badan perairan.

Sesuai dengan namanya : “ perairan Umum “ yang mana perairan tersebut adalah milik umum (common property) dan dapat dimanfaatkan oleh siapa saja (open access), maka untuk menjamin kelestarian sumberdaya ikan yang terkandung dalam perairan tersebut perlu dilakukan langkah konservasi dengan pengelolaan dan pemanfaatannya secara baik, arif dan bijaksana. Sehubungan dengan konservasi sumberdaya hayati (ikan) dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan secara arif dan bijaksana ini, masyarakat di Sumatera Barat sejak dahulu telah menerapkannya melalui kearifan lokal yang sering disebut dengan : “Ikan Larangan“. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang ini : “Apakah Konsep Ikan Larangan ini sudah sesuai dengan Konsep Konservasi Plasma Nutfah/Sumberdaya Ikan ?“.

II. PLASMA NUTFAH DAN KONSERVASI


2.1. Plasma Nutfah


Istilah Plasma Nutfah dikembangkan oleh FAO (Food Agriculture Orgaization). Arti dari Plasma Nutfah itu sendiri adalah substansi sebagai sumber sifat keturunan yang terdapat di dalam setiap kelompok organisma (ikan) yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan agar tercipta suatu jenis unggul atau kultivar baru. Disamping istilah Plama nutfah, ada lagi istilah lain yang menggambarkan tentang potensi sumberdaya hayati, yaitu “ Sumberdaya Genetik “. Menurut Convention on Biological Diversity (CBD): Sumberdaya genetik adalah bahan dari makhluk hidup yang mengandung unit-unit fungsional pewarisan sifat (herditas) yang mempunyai nilai baik, nyata maupun potensial. Bila dilihat dari defenisi ini, maka kedua istilah ini memiliki pengertian yang sama.

Sumatera Barat memliki kekayaan sumberdaya (ikan) yang cukup besar, dengan jenis ikan yang beragam pula, misalnya ikan Arwana (Scleropages formosus), Botia (Botia macrocanthus), dan Garing (Tor douronensis, Tor tambroides, Tor soro, dan Tor tambra ), Simancung (Schismatorhynchus heterorhynchus), Baung (Mytus sp), Belida (Notopterus sp), Mingkih (Cestraceus sp), Mungkuih (Sicyopterus sp), Kulari (Lobochilus sp), Bilih (Mystacoleucus padangensis) dan lain-lainnya. Keberadaan sumberdaya ikan ikan-ikan tersebut menjadi rawan dan langka, bahkan ada yang telah punah akibat perubahan besar dalam penggunaan sumberdaya hayati dan penggunaan lahan sebagai habitanya. Semua ini disebabkan oleh perbuatan manusia, dan disamping itu kebijakan pembangunan yang kurang memperhatikan kelestarian lingkungan juga turut berperan dalam proses kepunahan sumberdaya ikan atau plasma nutfah tersebut.

2.2. Konservasi


Pada awalnya, upaya konservasi di dunia ini telah dimulai sejak ribuan tahun yang lalu. Di Asia Timur, konservasi sumberdaya alam hayati (KSDAH) dimulai saat Raja Asoka (252 SM) memerintah, dimana pada saat itu diumumkan bahwa perlu dilakukan perlindungan terhadap binatang liar, ikan dan hutan. Sedangkan di Inggris, Raja William I (1804 M) pada saat itu telah memerintahkan para pembantunya untuk mempersiapkan sebuah buku berjudul Doomsday Book yang berisi inventarisasi dari sumberdaya alam milik kerajaan. Kebijakan kedua raja tersebut dapat disimpulkan sebagai suatu bentuk konservasi sumberdaya alam hayati pada masa tersebut dimana Raja Asoka melakukan konservasi untuk kegiatan pengawetan, sedangkan Raja William I melakukan pengelolaan sumberdaya alam hayati atas dasar adanya data yang akurat. Namun dari sejarah ini dapat dilihat bahwa sejak jaman dahulu, konsep konservasi telah ada dan diperkenalkan kepada manusia meskipun konsep konservasi tersebut masih bersifat konservatif dan eksklusif (kerajaan). Konsep tersebut adalah konsep kuno konservasi yang merupakan cikal bakal dari konsep modern konservasi dimana konsep modern konservasi menekankan pada upaya memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam secara bijaksana.

Konservasi itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi. Sedangkan menurut Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi lebih buruk daripada saat sekarang. Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.

Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan, sebagai berikut :

  1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama (American Dictionary).
  2. Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang optimal secara sosial (Randall, 1982).
  3. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai, penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968).
  4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980).

Secara keseluruhan, Konservasi Sumberdaya Alam Hayati (KSDAH) adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.

KSDAH ataupun konservasi biologi pada dasarnya merupakan bagian dari ilmu dasar dan ilmu terapan yang berasaskan pada pelestarian kemampuan dan pemanfaatannya secara serasi dan seimbang. Adapun tujuan dari KSDAH adalah untuk terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta kesinambungan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, perlu dilakukan strategi dan juga pelaksananya. Di Indonesia, kegiatan konservasi seharusnya dilaksanakan secara bersama oleh pemerintah dan masyarakat, mencakup masyarakat umum, swasta, lembaga swadaya masayarakat, perguruan tinggi, serta pihak-pihak lainnya. Sedangkan strategi konservasi nasional telah dirumuskan ke dalam tiga hal berikut taktik pelaksanaannya, yaitu :

  1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan (PSPK) : a. Penetapan wilayah PSPK, b.Penetapan pola dasar pembinaan program PSPK, c. Pengaturan cara pemanfaatan wilayah PSPK, d. Penertiban penggunaan dan pengelolaan tanah dalam wilayah PSPK, e. Penertiban maksimal pengusahaan di perairan dalam wilayah PSPK.
  2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya: a. Pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, b. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa (in-situ dan eks-situ konservasi).
  3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya: a. Pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam, b. Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar (dalam bentuk : pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perdagangan, perburuan, peragaan, pertukaran, budidaya).

Dari uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa dalam kegiatan Konservasi ada 3 (tiga) hal pokok yang terkandung didalamnya, yaitu : Perlindungan, Pengawetan atau Pelestarian, dan Pemanfaatan. Jadi bila melakukan suatu konservasi terhadap suatu sumberdaya alam dalam hal ini Sumber Daya Ikan, maka ketiga unsur pokok tersebut haruslah diperhatikan dengan sebaik-baiknya, sehingga tujuan dan sasaran dari konservasi itu sendiri akan tercapai sesuai dengan yang diharapkan.



III. KONSERVASI SUMBERDAYA IKAN DAN IKAN LARANGAN


3.1. Konservasi Sumberdaya Ikan


Konservasi Sumberdaya Ikan telah ditetapkan dalam suatu Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, yaitu Undang-undang No. 31 Tahun 2004, dan Peraturan pemerintah No. 60 Tahun 2007. Dalam Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Pasal 1 angka (8) disebutkan bahwa : Konservasi Sumberdaya Ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan tetap meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumberdaya ikan. Kemudian dalam Pasal 13 ayat (1) disebutkan pula bahwa : Dalam rangka pengelolaan Sumberdaya Ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan dan konservasi genetika ikan.


Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan disebutkan pula :

  1. Pasal 1 ayat (2) : Konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang maupun yang akan datang.
  2. Pasal 1 ayat (3) : Konservasi jenis ikan adalah upaya melindungi, melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
  3. Pasal 1 ayat (4) : Konservasi genetik ikan adalah upaya melindungi, melestarikan dan memanfaatkan sumberdaya ikan, untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan sumberdaya genetik ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
3.2. Ikan Larangan


“ Ikan Larangan “ adalah merupakan salah satu bentuk dari Kearifan Lokal (adat dan kebiasan) dari masyarakat Sumatera Barat untuk menjaga kelestarian komunitas ikan di suatu perairan. Kegiatan Ikan Larangan ini di laksanakan oleh masyarakat di banda (parit-parit) saluran irigasi (Banda Larangan), sungai (Lubuk Larangan), kolam (Tabek Larangan) dan telaga dan ekosistem perairan lainnya. Disamping melarang melakukan penangkapan ikan, biasanya dilakukan pula penebaran (restocking) jenis ikan lain misalnya ikan mas dan nila ke dalam perairan tersebut. Dalam Ikan Larangan ini diterapkan suatu aturan yang telah disepakati oleh para pemangku adat, ninik mamak, alim ulama, perangkat nagari dan masyarakat kaum, dan siapa melanggarnya akan dikenakan denda sesuai dengan yang telah ditetapkan bersama. Bahkan dalam Ikan Larangan di terapkan pula suatu cara untuk menjaga ikan tersebut tidak ditangkap oleh orang/masyarakat, misalnya dengan cara religius (mistik) dengan menggunakan pawang (dukun) yang sering disebut dengan Ikan Uduah, yang mana apabila ada yang menangkap dan memakannya, maka yang bersangkutan akan sakit bahkan berakhir dengan kematian. Memang cara ini cukup ampuh untuk menjaga kelestarian komunitas ikan tersebut di suatu perairan. Namun disayangkan, pemberlakuan ini hanya beberapa waktu saja, dan setelah itu ikan tersebut boleh ditangkap, dan bahkan ada di beberapa daerah penangkapan dilakukan dengan cara-cara yang dilarang dan merusak, misalnya menggunakan futas dan sentrum. Hasil dari pemanenan ikan larangan ini digunakan untuk kepentingan umum di nagari tersebut.

Dari kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap Ikan Larangan, ini tidak obahnya sama dengan kegiatan budidaya di perairan umum, dimana ikan ditebar, dipelihara beberapa waktu dan kemudian di panen. Bila merujuk kepada konsep konsevasi dan peraturan perundang-undangan yang telah diuraikan tersebut diatas, maka Ikan Larangan bukanlah suatu kegiatan konservasi, karena dari ketiga unsur tersebut (yaitu perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan) hanya ada unsur pemanfaaatan saja, sedang unsur perlindungan dan pelestariannya tidak tercakup didalam kegiatan Ikan Larangan tersebut.



IV. KESIMPULAN


Kearifan lokal “ Ikan Larangan “ yang dilakukan oleh masyarakat perlu dilakukan penataan yang baik dengan menetapkan aturan-aturan teknis yang jelas, dan sesuai dengan Konsep Konservasi Sumberdaya Ikan. Sehingga dengan demikian tujuan konservasi yang terkandung dalam Kearifan Lokal Ikan Larangan dapat tercapai dengan sebaik-baiknya.

  ©Template by Dicas Blogger.